Legenda Telaga Bidadari
bidadari, cerita anak, Cerita
Rakyat, Cinta, danau telaga, Kalimantan Selatan, kebahagiaan, kecantikan,
legenda, niat baik, sungai 54
Legenda Telaga BidadariTelaga itu
tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak
pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah
pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya
pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung
dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya
sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat
dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang
mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Daerah itu dihuni seorang lelaki
tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri.
Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data.
Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh
perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang Sukma sering memanen burung
jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia
memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah
bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu
dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan
melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat.
Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut.
Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya,
puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan
penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
Akan tetapi, pada suatu hari suasana
di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga
berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma,
“sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi
menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya
pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya.
Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya
dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama
suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama
sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia
terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di
sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai mimpi,
tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang
mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda
cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian,
terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.
“Aku ingin melihat mereka dari
dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak
mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Legenda Telaga BidadariDari tempat
persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu
sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk
menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di
kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
Puas bersembur-semburan di air
telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan
mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang
Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian,
pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas
memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat
menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin
mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak
menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri
yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya,
putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa
kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari
tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,”
bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri bungsu
untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang Sukma merasa bahwa putri
bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi
istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan
kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah
cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan
kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya memang sudah adat dunia,
tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang
Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap
sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian
putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke
atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil
berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri bungsu memburunya. Tidak
sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri
bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya
setelah melihat isi bumbung itu.
“Ternyata, suamiku yang
menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,”
katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan putri bungsu berkecamuk
sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih.
Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam
hati.
Kemudian, putri bungsu mengenakan
pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya.
Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun
menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap
pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak
di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda harus kembali,” kata
istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan
ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas,
bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan
menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya
itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam
karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya
ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan
melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka
bagi dirinya.
Telaga yang dimaksud dalam legenda
di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung.
Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota
Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari
banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam
hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu
Suling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar