KTT OKI dan kemerdekaan 'semu' Palestina
Setidaknya
56 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menghadiri Konferensi
Tingkat Tinggi Luar Biasa di Jakarta yang secara khusus membahas isu Palestina.
KTT ini mengangkat tema ‘United for a Just Solution’. Hal ini diselenggarakan
untuk mencari terobosan guna menyelesaikan isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.
Pertemuan pejabat tinggi Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja
Sama Islam (KTT LB OKI) ke-5 fokus membahas rancangan dua dokumen hasil, yakni resolusi
dan deklarasi serta langkah-langkah terkait lainnya.
Banyak
pihak berharap, Indonesia sebagai negara dengan Muslim terbesar di dunia
memegang tanggung jawab besar atas keberlangsungan dan efektivitas OKI sebagai
media perjuangan negara-negara Islam, di tengah berbagai permasalahan yang
mencuat seperti perang saudara di Suriah yang sudah berlangsung selama lima
tahun dan sengketa di dalam dan di antara negara- negara Islam di Timur Tengah.
Banyak
Negara baik di Asia dan Eropa dan dari benua Amerika yang menyatakan pengakuan
dan dukungan bagi kemerdekaan palestina serta dukungan akan bergabungnya
palestina menjadi bagian dari anggota tetap dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB.
Dalam
pidato pembukaannya, Jokowi menyatakan, keberadaan OKI harus dipertanyakan jika
tak sungguh-sungguh mencari jalan keluar persoalan Palestina yang saat ini
wilayahnya masih diduduki secara ilegal oleh Israel.”OKI harus jadi bagian dari
solusi (masalah Palestina). Jika tak bisa keberadaan OKI jadi tak relevan,”
ucap Jokowi di JCC Jakarta, Senin (7/3/2016) – liputan6.com (7/3).
Presiden Joko Widodo pun menyampaikan kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas
bahwa Indonesia mendukung berbagai terobosan dan inisiatif untuk
menyelenggarakan konferensi internasional tentang perdamaian Palestina.
Dukungan
Indonesia atas kemerdekaan Palestina, lanjut Presiden, akan dilaksanakan sesuai
kerangka “two-state solution” yang mengikuti format PBB. Indonesia mendukung
berbagai terobosan, inisiatif untuk menyelenggarakan konferensi internasional
tentang perdamaian Palestina. Terkait rencana peresmian Konsul Kehormatan RI di
Ramallah pada bulan ini, Jokowi menyampaikan terima kasih atas persetujuan yang
diberikan. Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah Indonesia akan mengutus Menlu
Retno ke Ramallah untuk meresmikan Konsul Kehormatan tersebut.
Harapan
umat Islam, tentu ada langkah kongkrit dari penguasa negeri-negeri muslim untuk
membebaskan kembali rakyat dan tanah Palestina seutuhnya. Namun
berkaca dari pengalaman sebelumnya, seringkali dukungan terhadap kemerdekaan
Palestina, hanya sekadar retorika politik kosong, tanpa ada bukti nyata.
Sekadar pencitraan untuk mencari simpati umat yang memang sangat berharap
penjajahan Palestina bisa dihentikan. Terkait dengan dukungan dari
Negara-negara peserta KTT OKI, dukungan ini bisa diduga untuk membangun citra
anti penjajahan.
Fatamorgana
Jika
dihitung sejak pendudukan Israel sekaligus pendirian Negara Yahudi itu di
Palestina pada tahun 1948 hingga hari ini, maka Tragedi Palestina sudah berumur
lebih dari 68 tahun. Selama itu pula sudah tak terhitung korban di pihak rakyat
Palestina oleh kebiadaban Yahudi tersebut. Kekejaman demi kekejaman yang
dilakukan oleh Yahudi terhadap rakyat Palestina seolah tak pernah akan
berhenti, terus berulang dari waktu ke waktu.
Sejarah
puluhan tahun telah membuktikan, segala upaya diplomasi selalu gagal dalam
menindak dan menghukum Israel. Serangan Israel terhadap kapal kemanusiaan dan
aktifis di atasnya membuktikan bahwa Israel sama sekali tidak mengindahkan
nilai-nilai kemanusiaan. Juga menunjukkan bahwa satu-satunya bahasa yang
dipahami oleh Israel adalah bahasa perang. Karenanya hanya bahasa perang
sajalah yang akan bisa diperhatikan oleh Israel.
Dengan
adanya konspirasi Zionisme-Imperialisme ini, jelas perdamaian apapun yang
digagas oleh negara-negara Barat pimpinan AS, meski itu melibatkan PBB, adalah perdamaian
yang penuh kepura-puraan. Terakhir, peta jalan (road map) yang
diprakarsai oleh kwartet AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB jelas bernasib sama
dengan usulan perdamaian yang lain seperti Konferensi Madrid (Oktober 1991) dan
Perjanjian Oslo (September 1993). Berdasarkan peta jalan ini, dijanjikan sebuah
negara Palestina yang merdeka pada tahun 2005. Faktanya, hingga tahun 2011 ini,
kemerdekaan Palestina masih sebatas mimpi. Bahkan ada kesan, Amerika sebagai
penyokong utama institusi Israel, siap untuk terus menghambat kemerdekaan
Palestina dan pengakuan dari PBB.
Bahkan
jika pun puluhan resolusi itu berhasil dikeluarkan oleh PBB, tidak pernah
efektif menindak Israel atas kejahatannya itu. Lagi-lagi sejarah menunjukkan
bahwa resolusi PBB itu seakan hanya efektif diberlakukan terhadap negeri-negeri
Islam namun melempem dan tumbul terhadap Israel. Sejak berdirinya Israel sudah
melanggar lebih dari 85 resolusi PBB, namun tidak ada satupun tindakan tegas
dijatuhkan terhadap Israel. Maka lagi-lagi sejarah dengan gamblang mengatakan
resolusi PBB tidak akan berarti apa-apa. Karena itu menggantungkan tindakan
tegas dan hukuman terhadap Israel kepada PBB dengan resolusinya adalah sia-sia.
Kenyataan itu sudah diketahui oleh semua orang.
Termasuk
dengan berbagai acara-acara seremonial konferensi, termasuk KTT OKI, para
penguasa dan politisi pasti sangat mengetahui kenyataan bahwa seruan-seruan dan
pengakuan kemerdekaan Palestina bukanlah solusi riil. Lalu kenapa sesuatu yang
sudah jelas tidak efktif itu masih saja diupayakan dan dijadikan sandaran
harapan?
Pernyataan
berulang mendukung kemerdekaan Palestina kerap disampaikan Indonesia. Namun
kita perlu tegaskan, dukungan yang diberikan selama ini tidaklah cukup. Bahkan
jauh dari upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikan persoalan Palestina. Sebab
persoalan Palestina bukanlah masalah pertanian, bukan pula masalah keuangan
mikro atau pemerintahan yang bersih. Namun masalah Palestina adalah keberadaan
penjajah Yahudi di bumi yang diberkati itu. Kita ulangi , persoalan Palestina
adalah masalah penjajahan entitas Yahudi.
Segala
bentuk solusi yang tidak mengarah kepada penghilangan penjajahan ini tidak akan
menyelesaikan persoalan Palestina. Termasuk pemberian kemerdekaan kepada
Palestina dalam konteks “solusi dua negara” (two states solution ) yang
diadopsi Indonesia. Solusi ini justru merupakan pembenaran terhadap keberadaan
penjajah Yahudi yang ilegal.
Bantuan
kesehatan hanya bersifat mengobati, setelah itu penjajah Yahudi,- kalau tidak
ada yang mencegah-, kembali membombardir , membunuh, dan melukai umat Islam.
Bantuan pembangunan atau ekonomi pun tidak begitu berarti, apabila serangan
bersenjata yang menargetkan rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, dan pemukiman
penduduk tidak dihentikan. Dibangun, berhenti sejenak, dihancurkan lagi.
Begitulah terjadi secara berulang.
Keterlibatan
Indonesia dalam proses perdamaian yang disponsori PBB, Amerika Serikat, atau
negara-negara Eropa, tidak akan menyelesaikan masalah secara keseluruhan.
Pasalnya, segala bentuk proses perdamaian ala Barat, tetap dalam kerangka
mempertahankan penjajah Yahudi. Padahal penjajah ini lah yang menjadi
persoalannya. Proses perdamaian hanyalah membuang-buang waktu yang
memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Jalan
terang
Palestina
merupakan negeri Islam yang ditaklukkan secara damai oleh Daulah Khilafah
Islamiyyah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Hâfidz Abu Qâsim Ibnu ‘Asâkir di dalam al-Mustaqshâ fi
Fadhail al-Masjid al-Aqsha, setelah menaklukkan Damsyiq beliau kemudian
mengarahkan pasukannya yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ke daerah Iliya
(Palestina) dan mengepung daerah tersebut selama beberapa hari hingga penduduk
negeri tersebut meminta damai kepada kaum Muslimin dengan syarat Umar bin
Khattab menjumpai mereka.
Bertolak
dari kenyataan tersebut, tanah Palestina termasuk dalam katagori ardh al-shulhi
(tanah yang diperoleh melalui perundingan damai). Sedangkan status ardh
al-shulhi sesuai dengan isi perjanjian yang disepakati antara pemerintahan
Islam dengan penduduk negeri yang ditaklukkan. Selama tidak bertentangan dengan
syara’, kaum Muslim pun wajib menaati klausul perjanjian yang telah disepakati
itu. Rasulullah saw bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ
الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Perjanjian
damai itu boleh antara kaum Muslim kecuali perjanjian damai yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram (HR
Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Di
dalam kitab ‘Awn al-Ma’bûd dijelaskan bahwa kata bayna al-muslimîn memberikan
makna kharaja makhraj al-ghâlib (mengikuti adat kebiasaan). Alasannya,
perjanjian damai antara kaum Muslim dan kaum kafir diperbolehkan. Pada
ghalibnya, yang diseru dengan hukum adalah kaum Muslim. Sebab, merekalah yang
bersedia tunduk terhadapnya.
Rasulullah
saw juga bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Kaum
Muslim tunduk dengan syarat-syarat mereka
(HR al-Bukhari, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).
Berkaitan
dengan tanah Palestina, terdapat klausul yang jelas mengenai status Yahudi. Di
situ termaktub: Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ.
Ketentuan
ini berlaku hingga hari kiamat. Berdasarkan klausul tersebut, kaum Yahudi tidak
boleh tinggal di Palestina. Terlebih dengan cara merampas dari pemiliknya,
mengusir penduduknya, dan mendirikan negara yang berkuasa di atasnya.
Dukungan
yang diberikan oleh penguasa-penguasa negeri Islam terhadap eksistensi negara
Israel dan dukungan berdirinya negara Palestina jelas merupakan tindakan yang
dzalim sekaligus merupakan pengkhiatan terhadap kaum muslimin. Mereka tanpa
malu meridhai eksistensi negara yang berdiri di atas tanah yang dirampas dari
kaum muslim. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak lain adalah agen-agen
Barat (‘umalâ) yang terus mendukung berbagai strategi negara-negara penjajah
untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Solusi
final
Kegagalan
masyarakat internasional, konvensi-konvensi dan lembaga-lembaga
internasionalnya, untuk melindungi umat Islam Palestina, telah menjadi jelas.
Bahkan hal yang sebaliknya telah terjadi . Merekalah yang justru menyetujui
penindasan ini. Merekapun mendukung kejahatan keji terhadap umat Islam yang
menjadi korbannya.
Maka
jalan satu-satunya untuk menindak tegas Israel adalah dengan memobilisasi
tentara dan senjata untuk mengepung Israel dan menghancurkannya serta menghukum
para pemimpin dan siapa saja yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan
terhadap kaum muslim khususnya penduduk Palestina. Negeri-negeri Islam
sejatinya memiliki kekuatan militer dan persenjataan yang lebih dari mencukupi
untuk melakukan itu. Yang belum ada di negeri kaum muslim adalah seorang
penguasa mukhlis yang mau memobilisasi militer dan persenjataannya untuk
melakukan itu.
Perlu
kembali kita tegaskan, siapapun yang memang sungguh-sungguh dan serius untuk
membebaskan Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya, harus sungguh-sungguh
pula memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam. Apalagi, tegaknya khilafah adalah
merupakan kewajiban syar’i yang tidak boleh kaum Muslimin berlepas dari dari
kewajiban ini.
Karena
itu kaum Muslim harus berjuang keras mewujudkan pemimpin mukhlis itu yaitu
dengan membaiat seorang khalifah yang rasyid dan mukhlis. Khalifah akan
menggerakkan tentara dan memobilisasi persenjataan dalam rangka jihad membela
Islam dan kaum Muslim, membela penduduk Palestina dan siapapun dari kekejaman
dan kebrutalan Israel dan mencabutnya entitas zionis itu sejak dari akarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar